Mau jadi Gubernur, Bupati atau Walikota, harus punya "kapal" yang disiapkan Partai Politik. Untuk mendapatkan "kapal" tersebut, tentu saja tidak gratis dan harus berbayar.
Kalau sudah berbayar, maka si calon Gubernur, Bupati atau Walikota, harus hitung-hitungan dengan ketua partai, dan si calon Bupati atau Walikota pun akan menyiapkan anggaran dengan jumlah nominal yang tidak sedikit.
Kalau sudah cocok harga untuk berbayar, maka "kapal" dapat dinaiki si calon Gubernur, Bupati atau Walikota bersama seluruh tim suksesnya. Inilah yang selalu disebut sebagai cost politik (biaya politik).
Tentang "kapal" berbayar yang dipersiapkan partai politik, tentu saja berlaku dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung maupun tidak langsung, karena ketentuan itu, sudah merupakan sebuah ketetapan yang dituangkan dalam Undang-undang.
Pilkada Langsung
Kemudian dalam beberapa kali Pilkada Gubernur, Bupati atau Walikota, sudah digelar Pilkada Langsung, dimana rakyat yang memilih.
Terhadap Pilkada tersebut, calon Gubernur, Bupati atau Walikota, baik secara langsung maupun melalui Tim Suksesnya, sama-sama berperan melakukan pendekatan dengan rakyat pemilih. Pada proses tersebut, bukanlah hal yang mengherankan bagi kikta, jika ada calon Gubernur, Bupati atau Walikota, yang secara langsung maupun melalui Tim Sukses-nya melakukan berbagai cara memberikan bantuan atau iming-iming kepada rakyat pemilih.
Bahkan ada Tim Sukses yang tidak segan-segan memberikan sesuatu kepada calon pemilih berupa uang kontan dengan disertai fotocopy bukti adanya formulir C-6. Inilah yang selalu disebut sebagai money-politic (politik uang), dimana si calon Gubernur, Bupati atau Walikota memberikan uang dengan besaran tertentu kepada si calon pemilih. Tentang berapa besarnya, sangat relatif.
Terhadap situasi Pilkada langsung, para anggota DPRD hanya menjadi penonton. Kalau ada yang mendapatkan posisi terhormat karena masuk dalam Tim Sukses, ya syukur. Kalau sama sekali tidak dilibatkan, ya hanya gigit jari saja. Malah, para anggota DPRD itu mendapatkan tugas dari Ketua Partai untuk berperan menggalang suara dari Daerah Pemilihan masing-masing.
Pilkada Tidak Langsung
Sekarang wakil rakyat di DPR RI Senayan, sedang membahas RUU Pilkada tidak langsung. Pembahasan tersebut, sebagai wujud dimana mereka sedang memperjuangkan agar anggota DPRD diberi hak untuk menentukan pilihan terhadap Gubernur,Bupati atau Walikota. Ini yang disebutkan sebagai Pilkada tidak langsung.
Jika RUU Pilkada tidak langsung disetujui menjadi Undang-undang, maka calon Gubernur, Bupati atau Walikota tidak lagi berhubungan langsung dengan rakyat, tetapi akan berhadapan dengan para anggota DPRD yang memiliki hak memilih. Calon Gubernur, Bupati atau Walikota, mau tidak mau harus membangun komunikasi dengan para anggota DPRD untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dalam pendekatan itu pun, Gubernur, Bupati atau Walikota tentu saja tidak gratis untuk mendapatkan suara, dan akan terjadi juga, apa yang kita sebut mendapatkan suara dengan "berbayar".
Untuk Kepentingan Siapa?
Jadi, dengan perbandingan tersebut, sudah dapat dipahami kenapa para anggota DPR RI di Senayan sana, ngotot memperjuangkan kembali Pilkada tidak langsung.
Perjuangan itu semata-mata, untuk mengembalikan kondisi masa Orde Baru, karena dalam produk Pilkada Tidak Langsung, para anggota DPRD akan ikut serta menikmati apa yang disebut "berbayar"-nya calon Gubernur, Bupati atau Walikota.
Para wakil rakyat itu, boleh jadi sudah merasa letih, dalam kurun waktu yang sudah cukup lama hanya menjadi penonton dimana ketua partai mereka yang lebih menikmati apa yang disebut sebagai "berbayar". Setidaknya, mereka ingin kembali menikmati suara mereka yang “berbayar”.
Mari kita hitung-hitungan, jika di sebuah kabupaten ada 50 anggota DPRD, jika mereka diberi kuasa atas hak memilih calon Bupati, maka jika ada tiga pasangan yang bertarung, setidaknya agar merasa nyaman, si calon pemenang harus “menjala” 20 anggota dewan. Kalau si calon Bupati “raja minyak”, bisa jadi 50 suara itu diambilnya.
Pertanyaannya, kalau partai politik sudah menetapkan besaran “berbayar”nya seorang calon Gubernur, Bupati atau Walikota, bagaimana dengan mendapatkan suara anggota dewan? Tentu saja, si anggota dewan yang memiliki hak memilih, tidak akan rela menyerahkan suaranya dengan tidak “berbayar”.
Kemudian, ada yang sudah sekian lama tidak lagi dirasakan para wakil rakyat, bahwa setelah masa reformasi bergulir, ada beberapa kekuatan yang selama ini mereka miliki seperti "dimandulkan".
Contohnya, DPRD tidak lagi punya kekuatan untuk menolak LKPj Gubernur, Bupati maupun Walikota. Mereka sudah tidak lagi memiliki posisi tawar yang tinggi.
Karena itu, jika alasan anggaran cukup besar, ketika digelar Pilkada Langsung, dimana negara, calon Gubernur, Bupati atau Walikota, merasa terbebani, itu bukan alasan. Apalagi dikaitkan dengan terjadinya gesekan-gesekan antara rakyat.
Kalau itulah yang menjadi alasan, seharusnyalah anggota DPR-RI bersama Pemerintah, melakukan pembahasan untuk meminimalisir anggaran dan perseteruan.
Kita juga patut untuk mempertanyakan, seperti apa sebenarnya peranan elit partai politik menyeleksi kadernya, agar dapat memberikan pelajaran berpolitik yang baik, benar, dan beretika.
Elit partai politik maupun elit eksekutif, janganlah mempermainkan hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya (Gubernur, Bupati atau Walikota). Jangan karena sudah lama tidak menikmati "kue" yang pernah dinikmati, dengan seenaknya mengorbankan hak kemerdekaan memilih yang ada di tangan rakyat.
Apa rakyat harus tetap menjadi bagian dari “ketololan”, sehingga untuk memilih kepala daerahnya saja harus diwakilkan kepada orang yang mereka pilih?
Seharusnya, para anggota DPRD maupun DPR-RI, menyadari bahwa mereka dipilih untuk duduk di kursi wakil rakyat, bukan untuk memposisikan diri mewakili rakyat untuk memilih kepala daerah. Bukan itu.
Para anggota DPRD maupun DPR-RI itu, kita pilih untuk mewakili kita dalam melaksanakan tugas budgeting, legislasi dan pengawasan.
Sepatutnyalah, para anggota DPRD maupun DPR-RI itu, tahu diri dan sadar terhadap tugas pokok maupun fungsinya. Jangan setelah kita pilih, kemudian seenaknya merubah dirinya, menjadi "perampas" hak rakyat untuk memilih langsung.
Apapun yang sedang mereka perjuangkan untuk menggolkan RUU Pilkada tidak langsung, kita tidak menyetujuinya. Kita tidak merelakan jika hak pilih kita diambil oleh anggota DPRD. Pilkada langsung, adalah untuk kepentingan rakyat, karena anggota DPRD itu juga rakyat, maka mereka harus juga siap untuk dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih rakyak secara langsung.
Sementara kontrol terhadap kinerja kepala daerah, kita serahkan kepada orang-orang yang kita pilih untuk duduk sebagai wakil kita di DPRD. Kalau mereka membangkang, dan tidak menjalankan amanah budgeting, legislasi dan pengawasan, mari sama-sama kita cabut hak suara kita kepada mereka.
Semoga mereka, para anggota DPRD dan DPR-RI, tidak lupa diri. Tidak menjadi semena-mena menelan hak pilih rakyat. Padahal mereka juga rakyat.
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=27&jd=Pilkada+Langsung+dan+Tidak+Langsung%2C+Kepentingan+Siapa%3F&dn=20140912123525
Tidak ada komentar:
Posting Komentar