Mayoritas publik menolak hak politiknya dicabut dan dikembalikan kepada DPRD untuk memilih langsung kepala daerah. Sebesar 81.25 % menyatakan setuju kepala daerah harus tetap dipilih secara langsung yang telah berjalan hampir 9 tahun. Hanya 10.71 % yang menyetujui kepala daerah dipilih oleh parlemen di daerah masing-masing. Dan sebesar 4.91 % menyatakan bahwa kepala daerah sebaiknya ditunjuk oleh Presiden.
Demikian salah-satu temuan survei oleh Lingkaran Survei Indonesia. LSI kembali mengadakan survei khusus merespon "Polemik RUU Pilkada". Survei ini dilakukan melalui quick poll pada tanggal 5 - 7 September. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9 %. Survei dilaksanakan di 33 propinsi di Indonesia. Survei juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview.
Rata-rata di semua segmen masyarakat yang setuju dengan Pilkada langsung berkisar antara 73 % sampai dengan 95 %. Namun demikian, mereka yang tinggal di kota, berpendidikan tinggi, dan berstatus ekonomi menengah atas lebih tinggi penolakannya dibanding dengan mereka yang tinggal di desa dan "wong cilik".
Tingginya penolakan kelas menengah perkotaan ini disebabkan karena umumnya kelompok masyarakat ini lebih sensitif terhadap isu demokratisasi. Selain itu, kelompok kelas menengah memiliki akses media massa yang luas dan variatif. Kampanye "Tolak RUU Pilkada oleh DPRD" yang digaungi oleh berbagai kelompok civil society melalui berbagai media sosial juga meningkatkan skala resistensi kelompok kelas menengah.
Jika mayoritas partai atau fraksi di DPR menyetujui pemilihan kepala daerah oleh DPRD, justru sebaliknya mayoritas konstituen partai-partai tersebut mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung dan menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Tak ada satupun partai yang mayoritas pemilihnya mendukung pemilihan oleh DPRD.
Rata-rata dukungan terhadap pilkada langsung oleh pemilih partai politik berkisar antara 78 % sampai dengan 86 %. Para pemilih partai yang partainya tergabung dalam koalisi merah putih pun setuju bahwa sebaiknya kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Para pemilih Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 lalu pun mendukung pilkada langsung. Sebesar 81.53 % pemilih Prabowo-Hatta menyatakan dukungannya terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Hanya minoritas yaitu sebesar 8.79 % yang menyatakan setuju pilkada oleh DPRD.
Dengan masif dan meratanya penolakan terhadap "RUU Pilkada oleh DPRD" oleh publik maka seharusnya para wakil rakyat menyadari bahwa kehendak mereka mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD tidak memperoleh dukungan publik. DPR harus hati-hati dan sensitif dengan kehendak luas publik (common will). Langkah "nekad" dan "masa bodoh" DPR dan sejumlah partai politik yang memaksakan RUU Pilkada oleh DPRD hanya akan meningkatkan antipati publik terhadap partai maupun DPR sekaligus.
Bukan hanya menolak, publik pun menilai bahwa usulan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung ke pemilihan tak langsung (melalui DPRD) hanyalah "akal bulus" partai untuk memonopoli kekuasaan. Sebesar 74. 76 % menyatakan bahwa usulan kembalinya kepala daerah dipilih oleh DPRD lebih didasarkan oleh kepentingan kekuasaan partai. Hanya 14.29 % yang menyatakan bahwa usulan tersebut merupakan upaya partai dan parlemen membenahi kualitas pemilihan kepala daerah.
Lalu mengapa publik mayoritas menolak Pilkada oleh DPRD dan setuju pemilihan kepala daerah secara langsung? LSI menemukan 3 (tiga) jawaban.
Pertama; mayoritas publik khawatir jika kepala daerah dipilih oleh DPRD dan bukan rakyat secara langsung, maka tokoh yang menang bukanlah tokoh yang dekat dengan rakyat namun tokoh yang tunduk kepada DPRD. Dalam pilkada langsung, tokoh yang terpilih adalah tokoh yang dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Tokoh yang menang juga adalah tokoh yang memperoleh suara terbanyak (Diatas 30 %).
Dengan kepala daerah dipilih secara langsung, tokoh yang dipilih memiliki kedekatan dengan rakyat dan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar untuk mewujudkan janjinya selama kampanye. Baik buruknya kinerja seorang kepala daerah akan menjadi indikator utama seorang kepala daerah dapat terpilih kembali dalam periode berikutnya. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka tokoh yang menang adalah tokoh yang sangat mungkin tidak dikenal dan tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat. Tokoh yang terpilih justru akan memilih untuk lebih "menjaga hubungan baik" dengan DPRD daripada dengan rakyatnya sendiri.
Kedua, mayoritas publik khawatir bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD hanya akan meningkatkan permainan uang di DPRD. Persepsi negatif terhadap partai politik dan DPRD membuat rakyat pesimis bahwa tokoh yang menang adalah tokoh yang kompeten dan dibutuhkan rakyat. Publik khawatir bahwa kepala daerah terpilih adalah hasil dari permainan uang di DPR.
Ketiga, mayoritas publik menyatakan bahwa pilkada saat ini sudah lebih baik dibanding pemilihan oleh DPRD pada masa sebelumnya. Pilkada langsung memungkinkan masyarakat dapat memilih langsung kepala daerah yang menurutnya dapat mengubah nasib dirinya maupun daerah. Publik menilai bahwa pilkada telah memunculkan tokoh-tokoh terbaik di sejumlah daerah. Tokoh-tokoh daerah yang dikenal baik prestasinya adalah produk pilkada langsung. Misalnya Joko Widodo (DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Syahrul Yasin Limpo (Sulawesi Selatan), TGH. Zainul Majdi (Nusa Tenggara Barat), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulawesi Selatan), Ridwan kamil (Kota bandung), dan lainnya.
Survei LSI pun menemukan bahwa polemik RUU Pilkada ini menimbulkan antipati dan persepsi negatif publik terhadap partai-partai yang terlihat ingin memangkas hak politik rakyat. Jika RUU Pilkada oleh DPRD disahkan oleh DPR maka publik pun menyalahkan partai politik sebagai pihak yang bertanggung jawab atas "hilangnya" hak politik rakyat. Ada 5 partai politik yang paling disalahkan jika Pilkada dilakukan oleh DPRD yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, dan PAN.
Setelah 9 tahun berjalan, mayoritas publik menyatakan bahwa mereka puas dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebesar 69.76 % menyatakan puas dengan pelaksanaan pilkada. Dan hanya 20 % yang menyatakan tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Oleh karena itu, mayoritas publik berharap sebaiknya perbaikan Pilkada langsung hanya terkait dengan proses rekruitmen calon kepala daerah, kampanye, dan masalah teknis lainnya. Bukan dengan mengganti sistemnya untuk dikembalikan dipilih oleh DPRD.
Sebesar 79.27 % publik setuju dengan opsi perbaikan sistem pilkada langsung dengan misalnya pilkada serentak dan lainnya. Hanya 12.44 % yang setuju dengan opsi mengganti sistem pemilihan.
Publik pun berharap diakhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mendukung kembalinya Pilkada oleh DPRD yang artinya akan mencabut hak politik rakyat, karena hal ini akan dicatat sejarah sebagai titik hitam kepemimpinannya.
Dengan tingginya penolakan publik terhadap usulan Pilkada oleh DPRD, maka LSI pun membuat beberapa rekomendasi penting. Pertama, pemilihan kepala daerah sebaiknya tetap dilakukan secara langsung.Kedua, pemerintah dan DPR sebaiknya lebih fokus pada penataan pilkada yang lebih baik. Misalnya dengan penataan waktu pilkada secara serentak hanya 2 atau 3 kali dalam 5 tahun. Ketiga, sebaiknya perubahan Undang-Undang Pilkada diserahkan kepada pemerintah dan DPR yang baru. Sehingga Undang-Undang yang dihasilkan tidak terkesan terburu-buru dan menimbulkan banyak polemik. Keempat,presiden SBY dan DPR lama di akhir masa jabatan ini tidak lagi membuat kebijakan yang strategis. (*)
Sumber :http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=27&jd=Pilkada+oleh+DPRD+Dinilai+Publik+Sebagai+Pengkhianatan+Partai&dn=20140909145321
Tidak ada komentar:
Posting Komentar